Social Icons

Pages

Featured Posts

Tuesday, May 7, 2013

[Re-Blog] Backpacker Berkualitas?

 
Semalam, saya mendapat email dari milis jalan2 yang saya ikuti. Topik emailnya sangat menarik! Mengukur Traveling: Kualitas dan Kuantitas. Secara garis besar, isi email tersebut membahas tentang pandangan yang membuat saya semakin menyadari, bahwa tujuan seseorang melakukan perjalanan (traveling) memang berbeda2, dan sangat dalam maknanya tergantung dari interpretasi masing2 individu.

Dari sekian banyak balasan yang merespon email tersebut, ada satu yang cukup ’menggelitik’ pemikiran saya. Kalimatnya kurang lebih seperti ini
: ”Jika banyak cerita menarik dan sangat berguna yang bisa kita sampaikan ke teman ataupun di blog, itulah kualitas. Jika banyak dokumentasi perjalanan yang anda bisa sharing di jejaring sosial itulah kuantitas.”

Saya jadi ingat, sekitar setahun yang lalu, saya sempat dihubungi oleh seorang teman yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar di salah satu universitas di Korea Selatan. Dia meminta izin, buat menunjukan foto
2 perjalanan saya di facebook ke teman2nya di sana. Sempet binggung juga sih, buat apa? Karena kalau dihitung2, paling juga baru beberapa tempat di Indonesia yang pernah saya kunjungi, jangankan ke luar negeri, naik pesawat pun saya juga belum pernah.

Setelah diberi penjelasan, saya baru mengerti. Ternyata dia mau menunjukkan ini loh Indonesia, karena teman
2nya banyak yang penasaran. Tapi berhubung mereka tertarik dengan tempat2 yang cenderung jarang terjamah (maklum bule, suka yang ala ’petualang’ gitu katanya) jadilah foto2 saya itu dijadikan sebagai media promosi. Dan 3 bulan kemudian setelah program pertukaran pelajarnya selesai, dia berhasil mengajak 2 orang bule asal Ceko untuk datang ke Indonesia, menyusul sebulan berikutnya seorang bule asal Perancis.

Kejadian serupa juga pernah saya alami ketika teman saya yang lain sampai ’nekat’ menyebarkan link album foto
2 saya ke wall facebook teman2nya asal Turki. Karena saking ’desperate’ katanya dia meyakinkan teman2nya tersebut kalau Indonesia memang benar2 indah dan layak dikunjungi. Mereka keburu ’parno’ duluan melihat berita di televisi soal Indonesia (banyak kerusuhan dan teror bom), syukurlah ternyata usahanya tersebut cukup berhasil dan beberapa temannya itu janji akan datang ke Indonesia.

Sejak saat itu, saya jadi semakin suka dan sering meng-upload foto
2 di facebook setiap habis melakukan suatu perjalanan. Karena jujur, saya bukan tipe orang yang suka menulis (walau sekarang sudah mulai belajar menulis sih, hehehe..), saya lebih senang bercerita ketika orang lain bertanya. Biasanya, mereka mulai banyak tanya setelah sebelumnya melihat foto2 perjalanan yang saya upload tadi. Dan alhamdulillah, karena foto2 itu pula saya jadi semakin punya banyak teman, bahkan ada beberapa yang akrab, dari awalnya memang hanya sekedar tanya2 di facebook. Pesan temen2 sekarang pun setiap sebelum saya jalan biasanya adalah Co, jangan lupa oleh2 fotonya yah!” Hehehe.. xD

Bagi saya, foto bisa ’berbicara’ segalanya. Dari foto, orang bisa tahu bahwa ternyata masih banyak loh tempat
2 lain khususnya di Indonesia, yang benar2 indah. Dari foto pula, kata teman2, saya sebenarnya juga sudah ikut membantu mempromosikan pariwisata Indonesia. Saya nggak tahu yah, apakah saya termasuk ’tipe backpacker’ yang mementingkan kuantitas? Saya mendapatkan kepuasan dari perjalanan yang sudah saya lakukan, saya juga mendapatkan kepuasan karena foto2 yang saya ’pamerkan’ ternyata juga bermanfaat. Terlebih, karena dari foto2 tersebut akhirnya jadi banyak orang yang penasaran, pengen tahu dan kemudian membuktikannya sendiri.

Jadi bagaimana caranya kita mengukur kualitas backpacking seseorang? Saya sangat setuju dengan pernyataan pengirim email bahwa mempertanyakan kuantitas dan kualitas backpacking seseorang adalah sangat personal. Menariknya, pembahasan ini juga pernah didiskusikan dalam salah satu perkuliahan saya di kampus, setelah sebelumnya ada postingan dari salah satu anggota di milis itu juga yang mempertanyakan tentang “Filosofi Seorang Backpacker”.

Dalam diskusi kuliah tersebut, seorang senior saya bertanya
Bagaimana menjadi seorang backpacker yang mapan?”
Teman saya ada yang menjawab
Bung, sebenernya definisi dari mapan disini apa dulu? Apakah mapan dalam segi pengalaman atau materi? Kalo materi sih udah jelas yah, hahaha.. Kalo mau menjadi backpacker mapan dari segi kualitas? Hmm.. Jawabannya mungkin dengan jam terbang aja ya, dan juga bagaimana pelajaran2 setiap trip itu bisa diambil hikmahnya.
H
mm.. Standar kualitas itu sendiri seperti apa bung? Sampai bisa dibilang mapan?” tanyanya lagi.
Teman saya jawab B
ackpacker berkualitas menurut gue sih nggak ada standarnya yah. Tiap orang bisa beda-beda. Mungkin link ini bisa ngebantu dan ngasih contoh juga, betapa berbedanya backpacker berkualitas menurut orang2.” Sambil memberikan 2 buah link discussion board di salah satu group backpacker di facebook, yang pertama judulnya Rule Seorang Backpacker, dan yang kedua Persiapan Sebagai Backpackers Pemula.

Pada akhir diskusi, senior saya itu menyimpulkan (dan saya juga sepakat), bahwa seseorang yang akan melakukan perjalanan memang ditentukan oleh dirinya sendiri, baik keuangan, waktu, dan kondisinya. Konsep seperti itu kan sudah terjadi dari ada istilah ‘musafir’, ‘pengelana’, yang memuat nilai
2 tertentu dalam perjalanannya. Jadi, apakah seseorang yang banyak sharing dokumentasi perjalanan di situs jejaring sosial memang backpacker yang hanya mengandalkan kuantitas? Atau kualitas seseorang backpacker memang ditentukan oleh cerita menarik dan sangat berguna yang bisa disampaikan ke teman2 ataupun ditulis di blog? Entahlah..

Yang pasti bagi saya, mengutip pernyataan kawan saya pada diskusi soal filosofi seorang backpacker tadi:
“Backpacking is a way from ways of traveling. it has unique conditions, and these conditions are meant to be as it is. To put it simple: If you want to make driving license there will be 2 ways: Easy way and hard way. They know the satisfactions, they know what they receive and what they miss ifthey choose either one. Backpacking is the latter. Backpackers like us always wants it all: To experience all the details and still have the satisfaction after what we've been through.” ~ Fajar Ajie Setiawan

So, Keep Happy Traveling!!
xD
 
PS: Pernah diposting sebelumnya disini.

Selebritis Dadakan

"Mister, kok handphone-nya gak punya tombol?"
Menjadi pusat perhatian emang menyenangkan, udah jadi sifat dasar manusia gue rasa kalo setiap orang pasti ingin diperhatikan, betul? Terlepas apakah dia itu orang terkenal atau bukan, kadang mendapat perhatian di tempat dan situasi yang gak tepat bisa jadi bukan menyenangkan malah memalukan, terlebih waktu kita lagi traveling.
Traveling itu ibarat bertamu. Mengunjungi suatu daerah, apalagi yang jarang didatengin oleh wisatawan, mau gak mau akan menempatkan kita sebagai ‘orang asing’ ditengah masyarakat. Nah, sebagai ‘orang asing’ tentu kita dianggap berbeda, dalam artian apa yang kita kenakan atau lakukan di tempat tersebut mungkin akan terlihat aneh, menarik atau bisa jadi lucu bagi mereka. Sadar atau gak, kondisi ini yang gak jarang menjadikan kita sebagai pusat perhatian.
Kejadian kayak gitu sering banget gue alamin, dan biasanya pasti ketika lagi traveling bareng temen. Salah satu yang paling konyol, waktu gue dan 3 temen kampus: Tiwi, Mayang dan Gama ke Papandayan sekitar bulan Juli tahun 2010 lalu, udah lama juga yah? Hehehe.. Ketiga temen gue ini emang bukan orang2 yang biasa backpacking (traveling ala backpacker). Akibat ke-sotoy-an gue, kita ke Papandayan jalan kaki dari Desa Cisurupan ke pelataran parkir, tadinya dipikir deket tapi ternyata jauh banget!
Singkat cerita, beruntung ditengah jalan ada mobil pick-up pengangkut sayuran yang lewat, dan kita diperbolehkan untuk menumpang. Entah karena terlalu excited atau mungkin ini pengalaman pertama buat mereka naik pick-up, kehebohan pun terjadi. Sepanjang jalan kita berempat asyik berfoto2 ria tanpa peduli keadaan sekitar, berbagai pose dilakukan mulai dari foto narsis hingga ala artis! Sebagai gambaran, Tiwi dan Mayang itu dua cewek berjilbab, dan mereka memakai kaca mata hitam layaknya orang mau ke pantai. Sementara Gama? Cowok satu ini emang berperawakan agak blonde, meski sebenernya gak ada keturunan bule. Alhasil tanpa sadar kita udah jadi tontonan warga sepanjang jalan, terlebih setelah ada segerombolan anak kecil yang lari2 ngikutin pick-up sambil berteriak dan nunjuk2 “Ada bule!! Ada bule!!” ke arah kita, ampuuun malunya bukan kepalang! Hahaha.. x))
Foto ala Selebritis!
Lain cerita di Lembata, waktu itu gue kesana bareng seorang bule asal Prancis kenalan di Kelimutu bernama John, pertengahan Juni 2011. Sensasi bagai selebritis gak abis2 gue rasain selama berada di pulau ini. Daya tarik utama jelas si John, dan gue sebagai ‘orang lokal’ sering dianggep guide dan didaulat menjadi translator oleh penduduk setempat. Suatu kali sempet ada seorang penjual pisang goreng di Terminal Barat Lewoleba yang ngasih nomor telpon dia ke gue, pesennya cuma satu: “Mas tolong bilangin mister, kalo udah balik ke negaranya kabarin saya yah, siapa tau ada lowongan pekerjaan buat saya disana..” Menurut nganaaaaa!?
Gak abis disitu, John juga jadi magnet bagi sopir dan kenek bus antar kota yang rela antar jemput kita dari Lewoleba ke Wairiang. Satu yang jadi perhatian mereka, kenapa handphone (I Phone) yang dimiliki John gak punya tombol? Karena penasaran, mereka pun meminta John ngajarin gimana cara menggunakannya. Sebagai imbalan, Kemana dan kapan pun kami pergi mereka siap mengantar! Hahaha.. Waktu di Lamalera juga gitu, gue dan John gak henti2nya dibuntutin oleh segerombolan bocah2 kecil yang lucu. Mereka takjub dengan kamera SLR yang dibawa John, dan setiap kali John membidikkan lensa kamera pasti ada aja cara yang dilakukan oleh bocah2 lucu itu untuk bisa ikut difoto, mereka bilang “Mister, saya mau masuk tivi mister!” xD
Gak soal kejadian lucu, bahkan ketika kena musibah pun juga bisa menjadikan kita pusat perhatian. Hal ini dialamin Gue dan Dee waktu di Wakatobi bulan Oktober tahun lalu. Sebuah peristiwa cukup mengerikan terjadi setibanya di Pelabuhan Waiti’i, Tomia. Dee, yang saat itu berboncengan motor dengan Dokter Yudi (guide selama di Tomia) terperosok ke jurang sedalam kurang lebih 10 meter! Beruntung mereka selamat, meski mengalami memar dan beberapa luka robekan.
Mas Yudi itu satu2nya dokter di Tomia, jadi gak heran kalo ada sesuatu yang terjadi sama dia pasti berita-nya akan sangat cepat dan mudah menyebar ke seluruh pulau, termasuk soal jatohnya dia ke jurang bersama Dee. So selama di Tomia, kemana pun kita pergi pasti langsung dikenalin, terlebih Dee yang sering banget disapa sama warga setempat “Oh ini, si merah yang nyusruk ke jurang bareng pak dokter?” Karena waktu kejadian, Dee memakai baju warna merah. Hahaha..
Kejadian2 kayak gini yang bikin gue selalu kangen traveling. Kadang hal2 kecil yang dianggap biasa dan sering dilakukan oleh kita bisa jadi terlihat aneh, menarik atau lucu buat mereka. Perbedaan budaya dan pembangunan yang gak merata emang menjadi faktor. Sebagai ‘tamu’ kita pun harus menghargai kearifan2 lokal seperti itu, toh apa yang mereka lakukan sebenernya juga merupakan bentuk perhatian dan kepedulian kepada tamu yang dateng ke ‘rumah’ mereka, bukan begitu? Jadi, ada yang pengen jadi selebritis dadakan? Cobalah traveling! xD

Friday, May 3, 2013

Ala Bisa Karena Berani Mencoba

The Apple Team
“Twenty years from now, you will be more disappointed by the thing that you don’t do than by the ones you did do. So throw off the bowlines, sail away from the safe harbour and catch the winds in your sails, explore! dream! discover!” ~ Mark Twain
Kalo ditanya, sejak kapan suka traveling? Jujur gue pasti gak bisa jawab. Yup, gue gak tau mulai kapan persisnya suka traveling, tapi menjadikan traveling sebagai sebuah hobi yang rajin gue geluti? Let’s say mungkin sekitar akhir tahun 2008 atau awal tahun 2009 kali yah..
Sejak kecil, gue emang udah suka traveling. Sama seperti sebagian besar orang, gue yakin waktu kecil semua pasti suka traveling. Inget pas jaman masih sekolah dulu? Apa coba yang paling ditunggu2 kalo bukan liburan akhir semester atau kenaikan kelas, iya kan? Bisa jalan2 bareng keluarga, keluar kota atau mungkin hanya sekedar keliling Jakarta. Gue bahkan masih inget, waktu tinggal di daerah Galur, Cempaka Putih dulu, gue punya satu kebiasaan ‘unik’ yang tiap sore pasti gue lakukin, yaitu pergi ke Stasiun Senen! Waktu kecil gue emang seneng banget sama yang namanya kereta api, bahkan bisa dibilang terobsesi sama segala hal yang berhubungan dengan kereta api. Nah, karena dulu rumah gue juga deket sama stasiun kereta api, makanya tiap sore gue paling sering tuh ‘nongkrong’ di Stasiun Senen cuma buat ngeliatin hilir mudik kereta api. Bahkan percaya atau gak, dulu gue pun sempet bercita2 pengen jadi masinis kereta api, alesannya? Yah karena gue pikir enak aja, tiap hari kerjanya jalan2 terus! Hahaha.. x))
Lain dulu, lain sekarang. Awal mula akhirnya mulai rajin traveling, mungkin selepas gue menjadi ketua panitia salah satu event besar di kampus, namaya Symphonesia: Symphony of Indonesia. Gue nggak akan cerita apa itu Symphonesia disini yah, hehe.. tapi yang pasti, Symphonesia itu merupakan salah satu pencapaian terbesar dalam hidup gue (so far), yang ‘menuntun’ gue untuk menemukan passion dalam hidup, salah satunya ya traveling.
Entah karena ‘stress’ atau apa, yang ada di pikiran gue selepas ngadain Symphonesia cuma satu: pengen liburan! Hahaha.. Symphonesia itu acara besar, butuh biaya yang sangat besar, dan juga melibatkan orang dalam jumlah besar. Bukan cuma gue, hakul yakin pasti semua panitia yang terlibat juga stress dibuatnya! Anyway, gak akan bosen2 gue bilang terima kasih banyak (buat seluruh panitia). Berkat niat dan kerja keras kita semua, Symphonesia berlangsung sukses bahkan jadi annualy event sampe sekarang! Hohoho.. xD
Motoran ke Ciwidey
Stress, butuh liburan, tapi gak punya duit. Sebagai mahasiswa, gak abis akal donk! Modal pinjem motor sama temen, gue nekat pergi ke Ciwidey (dan yang punya gak tau kalo motornya gue pinjem buat ke Ciwidey, hahaha..). Getaway singkat ternyata gak cukup buat jadi obat, gue masih pengen liburan! Abis dari Ciwidey, kebetulan orang rumah ngajakin mudik. Well, ibarat sambil nyelem minum air, bukannya mudik yang ada gue malah ngabur ke Jogja! Karena kampung gue juga deket dari Jogja (Kebumen –red). Gue ke Jogja sendirian, sementara keluarga yang lain tetep di kampung. Selama di Jogja, gue numpang di kontrakan temen SMA yang kuliah di sana. Cuma bermodal duit Rp 300 ribu, gue menghabiskan 3 hari di akhir tahun 2008 dengan penuh petualangan! Mulai dari nyasar ke rumah Alm. Mbah Maridjan, digodain om2, sampe pesta tahun baruan di bunderan UGM. I’ll tell you all these stories later yah! xD
Orang bilang traveling itu candu, can’t agree more sih. Sejak saat itu gue jadi makin suka traveling, durasi-nya semakin rutin seiring rasa penasaran gue yang emang selalu haus akan tantangan. Jelajah tempat2 baru, kenal temen2 baru, bahkan beberapa kali ikut ekspedisi dan juga sempet jadi admin salah satu komunitas traveling. I just feel alive! Anytime kalo ada waktu (dan duit tentunya) pasti gue gunakan buat traveling, sampe sekarang. Bisa dikatakan hampir tiap bulan gue pasti traveling, kalo gak? Bisa sakaw! x))
The point is, kalo dulu gue gak nekat pinjem motor temen buat ke Ciwidey, mungkin sampe sekarang gue gak akan hobi traveling. Kalo misal gue gak ngabur ke Jogja pas mudik sekeluarga, yah mungkin sampe sekarang gue cuma jadi ‘anak kota’ yang gak tau betapa indahnya Indonesia hingga pelosok Papua. Yup, semua karena modal nekad.
Sebagian besar orang pasti pengen traveling, sayang banyak ‘tapi’-nya. Tapi takut gak ada duit lah, tapi takut sendirian lah, tapi takut nyasar lah dan tapi2 yang lainnya. Kalo kebanyakan ‘tapi’, terus kapan jalan-nya? Segala sesuatu itu gak cukup cuma dengan ‘pengen’! Kalo mau, kalo butuh, ya lakukan. Just do it! Jangan kebanyakan mikir, kalo ujungnya malah gak menghasilkan apapun. Baca quote dari Mark Twain yang gue kutip di atas kan? See, jangan bilang gak bisa kalo belom mencoba. Let’s traveling! xD