Semalam, saya mendapat email dari milis jalan2 yang
saya ikuti. Topik emailnya sangat menarik! Mengukur Traveling: Kualitas dan Kuantitas. Secara garis besar, isi email tersebut membahas tentang
pandangan yang membuat saya semakin menyadari, bahwa tujuan seseorang melakukan
perjalanan (traveling) memang berbeda2, dan sangat dalam maknanya
tergantung dari interpretasi masing2 individu.
Dari sekian banyak balasan yang merespon email tersebut, ada satu yang cukup ’menggelitik’ pemikiran saya. Kalimatnya kurang lebih seperti ini: ”Jika banyak cerita menarik dan sangat berguna yang bisa kita sampaikan ke teman ataupun di blog, itulah kualitas. Jika banyak dokumentasi perjalanan yang anda bisa sharing di jejaring sosial itulah kuantitas.”
Saya jadi ingat, sekitar setahun yang lalu, saya sempat dihubungi oleh seorang teman yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar di salah satu universitas di Korea Selatan. Dia meminta izin, buat menunjukan foto2 perjalanan saya di facebook ke teman2nya di sana. Sempet binggung juga sih, buat apa? Karena kalau dihitung2, paling juga baru beberapa tempat di Indonesia yang pernah saya kunjungi, jangankan ke luar negeri, naik pesawat pun saya juga belum pernah.
Setelah diberi penjelasan, saya baru mengerti. Ternyata dia mau menunjukkan ini loh Indonesia, karena teman2nya banyak yang penasaran. Tapi berhubung mereka tertarik dengan tempat2 yang cenderung jarang terjamah (maklum bule, suka yang ala ’petualang’ gitu katanya) jadilah foto2 saya itu dijadikan sebagai media promosi. Dan 3 bulan kemudian setelah program pertukaran pelajarnya selesai, dia berhasil mengajak 2 orang bule asal Ceko untuk datang ke Indonesia, menyusul sebulan berikutnya seorang bule asal Perancis.
Kejadian serupa juga pernah saya alami ketika teman saya yang lain sampai ’nekat’ menyebarkan link album foto2 saya ke wall facebook teman2nya asal Turki. Karena saking ’desperate’ katanya dia meyakinkan teman2nya tersebut kalau Indonesia memang benar2 indah dan layak dikunjungi. Mereka keburu ’parno’ duluan melihat berita di televisi soal Indonesia (banyak kerusuhan dan teror bom), syukurlah ternyata usahanya tersebut cukup berhasil dan beberapa temannya itu janji akan datang ke Indonesia.
Sejak saat itu, saya jadi semakin suka dan sering meng-upload foto2 di facebook setiap habis melakukan suatu perjalanan. Karena jujur, saya bukan tipe orang yang suka menulis (walau sekarang sudah mulai belajar menulis sih, hehehe..), saya lebih senang bercerita ketika orang lain bertanya. Biasanya, mereka mulai banyak tanya setelah sebelumnya melihat foto2 perjalanan yang saya upload tadi. Dan alhamdulillah, karena foto2 itu pula saya jadi semakin punya banyak teman, bahkan ada beberapa yang akrab, dari awalnya memang hanya sekedar tanya2 di facebook. Pesan temen2 sekarang pun setiap sebelum saya jalan biasanya adalah ”Co, jangan lupa oleh2 fotonya yah!” Hehehe.. xD
Bagi saya, foto bisa ’berbicara’ segalanya. Dari foto, orang bisa tahu bahwa ternyata masih banyak loh tempat2 lain khususnya di Indonesia, yang benar2 indah. Dari foto pula, kata teman2, saya sebenarnya juga sudah ikut membantu mempromosikan pariwisata Indonesia. Saya nggak tahu yah, apakah saya termasuk ’tipe backpacker’ yang mementingkan kuantitas? Saya mendapatkan kepuasan dari perjalanan yang sudah saya lakukan, saya juga mendapatkan kepuasan karena foto2 yang saya ’pamerkan’ ternyata juga bermanfaat. Terlebih, karena dari foto2 tersebut akhirnya jadi banyak orang yang penasaran, pengen tahu dan kemudian membuktikannya sendiri.
Dari sekian banyak balasan yang merespon email tersebut, ada satu yang cukup ’menggelitik’ pemikiran saya. Kalimatnya kurang lebih seperti ini: ”Jika banyak cerita menarik dan sangat berguna yang bisa kita sampaikan ke teman ataupun di blog, itulah kualitas. Jika banyak dokumentasi perjalanan yang anda bisa sharing di jejaring sosial itulah kuantitas.”
Saya jadi ingat, sekitar setahun yang lalu, saya sempat dihubungi oleh seorang teman yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar di salah satu universitas di Korea Selatan. Dia meminta izin, buat menunjukan foto2 perjalanan saya di facebook ke teman2nya di sana. Sempet binggung juga sih, buat apa? Karena kalau dihitung2, paling juga baru beberapa tempat di Indonesia yang pernah saya kunjungi, jangankan ke luar negeri, naik pesawat pun saya juga belum pernah.
Setelah diberi penjelasan, saya baru mengerti. Ternyata dia mau menunjukkan ini loh Indonesia, karena teman2nya banyak yang penasaran. Tapi berhubung mereka tertarik dengan tempat2 yang cenderung jarang terjamah (maklum bule, suka yang ala ’petualang’ gitu katanya) jadilah foto2 saya itu dijadikan sebagai media promosi. Dan 3 bulan kemudian setelah program pertukaran pelajarnya selesai, dia berhasil mengajak 2 orang bule asal Ceko untuk datang ke Indonesia, menyusul sebulan berikutnya seorang bule asal Perancis.
Kejadian serupa juga pernah saya alami ketika teman saya yang lain sampai ’nekat’ menyebarkan link album foto2 saya ke wall facebook teman2nya asal Turki. Karena saking ’desperate’ katanya dia meyakinkan teman2nya tersebut kalau Indonesia memang benar2 indah dan layak dikunjungi. Mereka keburu ’parno’ duluan melihat berita di televisi soal Indonesia (banyak kerusuhan dan teror bom), syukurlah ternyata usahanya tersebut cukup berhasil dan beberapa temannya itu janji akan datang ke Indonesia.
Sejak saat itu, saya jadi semakin suka dan sering meng-upload foto2 di facebook setiap habis melakukan suatu perjalanan. Karena jujur, saya bukan tipe orang yang suka menulis (walau sekarang sudah mulai belajar menulis sih, hehehe..), saya lebih senang bercerita ketika orang lain bertanya. Biasanya, mereka mulai banyak tanya setelah sebelumnya melihat foto2 perjalanan yang saya upload tadi. Dan alhamdulillah, karena foto2 itu pula saya jadi semakin punya banyak teman, bahkan ada beberapa yang akrab, dari awalnya memang hanya sekedar tanya2 di facebook. Pesan temen2 sekarang pun setiap sebelum saya jalan biasanya adalah ”Co, jangan lupa oleh2 fotonya yah!” Hehehe.. xD
Bagi saya, foto bisa ’berbicara’ segalanya. Dari foto, orang bisa tahu bahwa ternyata masih banyak loh tempat2 lain khususnya di Indonesia, yang benar2 indah. Dari foto pula, kata teman2, saya sebenarnya juga sudah ikut membantu mempromosikan pariwisata Indonesia. Saya nggak tahu yah, apakah saya termasuk ’tipe backpacker’ yang mementingkan kuantitas? Saya mendapatkan kepuasan dari perjalanan yang sudah saya lakukan, saya juga mendapatkan kepuasan karena foto2 yang saya ’pamerkan’ ternyata juga bermanfaat. Terlebih, karena dari foto2 tersebut akhirnya jadi banyak orang yang penasaran, pengen tahu dan kemudian membuktikannya sendiri.
Jadi bagaimana caranya kita mengukur kualitas backpacking seseorang? Saya sangat setuju dengan pernyataan pengirim email bahwa mempertanyakan kuantitas dan kualitas backpacking seseorang adalah sangat personal. Menariknya, pembahasan ini juga pernah didiskusikan dalam salah satu perkuliahan saya di kampus, setelah sebelumnya ada postingan dari salah satu anggota di milis itu juga yang mempertanyakan tentang “Filosofi Seorang Backpacker”.
Dalam diskusi kuliah tersebut, seorang senior saya bertanya
”Bagaimana menjadi seorang
backpacker yang mapan?”
Teman saya ada yang menjawab
Teman saya ada yang menjawab
”Bung, sebenernya definisi dari mapan disini apa
dulu? Apakah
mapan dalam segi pengalaman atau materi? Kalo materi sih udah jelas yah,
hahaha.. Kalo mau menjadi backpacker mapan dari segi
kualitas? Hmm.. Jawabannya mungkin dengan jam terbang aja ya, dan
juga bagaimana pelajaran2
setiap trip itu bisa diambil hikmahnya.”
”Hmm.. Standar kualitas itu sendiri seperti apa bung? Sampai bisa dibilang mapan?” tanyanya lagi.
Teman saya jawab “Backpacker berkualitas menurut gue sih nggak ada standarnya yah. Tiap orang bisa beda-beda. Mungkin link ini bisa ngebantu dan ngasih contoh juga, betapa berbedanya backpacker berkualitas menurut orang2.” Sambil memberikan 2 buah link discussion board di salah satu group backpacker di facebook, yang pertama judulnya Rule Seorang Backpacker, dan yang kedua Persiapan Sebagai Backpackers Pemula.
Pada akhir diskusi, senior saya itu menyimpulkan (dan saya juga sepakat), bahwa seseorang yang akan melakukan perjalanan memang ditentukan oleh dirinya sendiri, baik keuangan, waktu, dan kondisinya. Konsep seperti itu kan sudah terjadi dari ada istilah ‘musafir’, ‘pengelana’, yang memuat nilai2 tertentu dalam perjalanannya. Jadi, apakah seseorang yang banyak sharing dokumentasi perjalanan di situs jejaring sosial memang backpacker yang hanya mengandalkan kuantitas? Atau kualitas seseorang backpacker memang ditentukan oleh cerita menarik dan sangat berguna yang bisa disampaikan ke teman2 ataupun ditulis di blog? Entahlah..
Yang pasti bagi saya, mengutip pernyataan kawan saya pada diskusi soal filosofi seorang backpacker tadi:
”Hmm.. Standar kualitas itu sendiri seperti apa bung? Sampai bisa dibilang mapan?” tanyanya lagi.
Teman saya jawab “Backpacker berkualitas menurut gue sih nggak ada standarnya yah. Tiap orang bisa beda-beda. Mungkin link ini bisa ngebantu dan ngasih contoh juga, betapa berbedanya backpacker berkualitas menurut orang2.” Sambil memberikan 2 buah link discussion board di salah satu group backpacker di facebook, yang pertama judulnya Rule Seorang Backpacker, dan yang kedua Persiapan Sebagai Backpackers Pemula.
Pada akhir diskusi, senior saya itu menyimpulkan (dan saya juga sepakat), bahwa seseorang yang akan melakukan perjalanan memang ditentukan oleh dirinya sendiri, baik keuangan, waktu, dan kondisinya. Konsep seperti itu kan sudah terjadi dari ada istilah ‘musafir’, ‘pengelana’, yang memuat nilai2 tertentu dalam perjalanannya. Jadi, apakah seseorang yang banyak sharing dokumentasi perjalanan di situs jejaring sosial memang backpacker yang hanya mengandalkan kuantitas? Atau kualitas seseorang backpacker memang ditentukan oleh cerita menarik dan sangat berguna yang bisa disampaikan ke teman2 ataupun ditulis di blog? Entahlah..
Yang pasti bagi saya, mengutip pernyataan kawan saya pada diskusi soal filosofi seorang backpacker tadi:
“Backpacking
is a way from ways of traveling. it has unique conditions, and these conditions
are meant to be as it is. To put it simple: If you want to make driving license
there will be 2 ways: Easy way and hard way. They know the satisfactions, they know what they receive and what they miss
ifthey
choose either one. Backpacking is the latter. Backpackers like us always wants
it all: To experience all the details and still have the satisfaction after
what we've been through.” ~ Fajar Ajie Setiawan
So, Keep Happy Traveling!! xD
So, Keep Happy Traveling!! xD
PS: Pernah
diposting sebelumnya disini.